Selasa, 18 September 2012

KISAH YANG SEBENARNYA PEMBAI’ATAN KHALIFAH ALI RA


KISAH YANG SEBENARNYA PEMBAI’ATAN KHALIFAH ALI RA




Terpilihnya Ali ra sebagai khalifah

Setelah terbunuhnya Utsman di tangan para pengkhianat, mereka mendatangi ali untuk menawarkan kepadanya jabatan kekhalifahan, tetapi Ali ra tidak meresponnya. Demikian pula yang dilakukan oleh Thalhah, Az-zubeir, dan Sa’ad bin abi waqqash. Demikian pula dengan semua para ahli syura (musyawarah), mereka menolak jabatan kekhalifan agar tidak terjadi prasangka buruk yang ditujukan kepada mereka dan menuduh mereka telah bekerjasama dengan para pengkhianat yang menjadikan Utsman sebagai korban pembunuhan lewat tangan mereka. Atau mereka sebagai pendorong bagi para pengkhianat dalam melakukan kejahatan-kejahatan mereka. Demikian pula Abdullah bin umar ra menolak jabatan kekhalifahan.

Tatkala para pengkhianat itu berputus asa dari segala usaha yang mereka lakukan dalam hal menawarkan jabatan kekhalifahan kepada para sahabat yang mulia, dan mereka mengetahui bahwa para sahabat tersebut adalah orang-orang yang tidak rakus kepada jabatan kekhalifahan. Mereka mengumpulkan penduduk madinah dan mengancam mereka akan membunuh para sahabat yang senior jika belum juga terpilih salah seorang di antara mereka yang menjabat sebagai khalifah. Seluruh penduduk madinah mendatangi Ali ra dan memaksanya untuk menerima tawaran dari para pengkhianat itu demi keselamatan mereka semua agar tidak terjadi bahaya dan musibah yang lebih besar. Mau tidak mau, Ali ra pun menerima tawaran mereka dengan pertimbangan untuk menyelamatkan penduduk madinah seluruhnya, maka diangkatlah Ali ra sebagai khalifah dengan suara terbanyak dari penduduk madinah dan sahabat-sahabat yang senior.



Peristiwa-peristiwa penting yang terjadi pada masa kekhalifahan Ali ra

Allah ta’ala berkehendak fitnah-fitnah tersebut terus menerus bermunculan melalui tipu daya dan kelicikan para musuh islam sebagai musibah dan ujian bagi kaum muslimin, karena Allah ta’ala maha bijaksana dalam menetapkan segala ketetapanNya dan maha tahu dengan segala ketentuanNya.

1.      Peranan Ali ra setelah dipilih menjadi khalifah

Ali ra merasakan dirinya tengah dihadapkan oleh kenyataan-kenyataan yang sulit dan menyakitkan, seperti menuntaskan perkara Utsman ra yang dibunuh secara zalim. Para pengkhianat telah menguasai kota madinah, sedangkan penduduknya larut dalam keadaan sedih bercampur marah. Adapun berita-berita dusta dan isu-isu terus menyebar di tengah-tengah masyarakat demi memutarbalikkan fakta. Dan masyarakat terus hidup dalam kebingungan menanggapi berita-berita aneh yang bermunculan. Dengan kondisi demikian, maka Ali ra melakukan beberapa tindakan berikut ini:
  1. Segera melengserkan Para amir (gubernur) yang memimpin wilayah-wilayah yang dikuasai selama kekhalifahan Utsman ra, dan melengserkan orang-orang yang dituduhkan kepada mereka berita-berita bohong oleh para pendusta, di mana mereka (para pendusta itu) berbuat keji kepada mereka setelah itu mereka berlepas diri atau tidak mau tahu. Pelengseran ini merupakan ijtihad dari Ali ra dengan keyakinan hal itu akan meredam membesarnya api fitnah. Sedangkan, sebagian sahabat lainnya menasehati beliau agar jangan melengserkan kedudukan para amir, akan tetapi beliau tetap bersikukuh dengan ijtihadnya.
  2. Menunda penyidangan orang yang telah membunuh Utsman ra, padahal orang yang membunuh Utsman telah jelas dan pasti di samping kaum muslimin di berbagai belahan telah sepakat atas pengangkatan Ali ra sebagai khalifah, hal ini disebabkan bahwa para pengkhianat tersebut memiliki kekuatan dan jumlah yang besar yang tidak mungkin mengalahkan mereka dengan gampang, sebagaimana mereka menguasai madinah di mana mereka masih bercokol di sana, dan mereka memasuki ke segala urusan atau permasalahan. 


2.      Peranan sebagian para sahabat

Para amir menerima perintah pelengseran ini, kecuali Amir wilayah Syam yaitu Mu’awiyah bin abi sufyan ra yang tidak merespon pelengseran ini di samping ia mengakui keutamaan Ali ra dan rela menyerahkan kedudukan kepadanya, tetapi masalahnya ia belum mendapatkan kejelasan dari sisi syari’at atas pembaitannya. Dan dalam pandangannya sebenarnya pembai’atan itu berlangsung dan terlaksana di bawah kekuasaan para pengkhianat yang telah membunuh Utsman ra, disebabkan jauhnya jarak antara beliau dan madinah, dan jarangnya informasi-informasi yang sampai kepadanya, karena itulah tangan-tangan para perusak memainkan peranannya dan memaksa masalah qisas bagi pembunuh Utsman lebih didahulukan daripada masalah bai’at. Inilah awal mula munculnya perselisihan. Perselisihan ini adalah disebabkan ijtihad dari kalangan sahabat ra yang disertai dengan niat yang baik dan tujuan yang baik dari mereka. Karena itu,  ahlussunnah wal-jama’ah menetapkan bahwa masing-masing dari mereka mendapatkan pahala, bagi yang benar mendapatkan dua pahala, sedangkan bagi yang salah mendapatkan satu pahala. Adapun yang benar adalah Ali ra, dan yang salah adalah orang yang menentang dan memeranginya, semoga Allah ta’ala merahmati dan meridhoi mereka semua.
Adapun rafidhah dan ahlul-bid’ah wal-ahwa’ mengambil kesempatan untuk memanfaatkan perselisihan ini dan permasalahan lain yang muncul akibat perselisihan ini, mereka menuduh  para sahabat rasulullah saw dengan berbagai keburukan dan mencaci maki mereka. Amru bin al-‘ash menurut mereka adalah orang yang sesat, pembuat makar (kejahatan) dan penipu. Sedangkan, Abu musa al-‘asy’ariy adalah orang yang lengah. Dan Mu’awiyah adalah orang yang rakus kepada kekuasaan, Dan lain sebagainya dari apa-apa yang mereka tulis dan riwayatkan di dalam buku-buku sejarah mereka. Semoga Allah ta’ala meridhoi para sahabat dan membersihkan mereka dari perkataan-perkataan para ahli kebatilan dan para pendengki.
Hasil dari pemanfaatan perselisihan ini oleh para pendengki  adalah terjadi dua peperangan yang sangat disayangkan di antara kaum muslimin dalam hal mempertahankan apa yang diyakini hak dan benar oleh masing-masing kelompok. Dua peperanga itu adalah;


1.      Perang Jamal

Sebabnya adalah Ummul mu’minin ‘Aisyah rah yang ditemani oleh thalhah dan az-zubeir ra yang diikuti sebagian besar kaum muslimin berjalan menuju bashrah dengan niat melunakkan hati dan menenangkan suasana yang goncang serta mendamaikan di antara kaum muslimin yang berselisih setelah pengangkatan Ali sebagai khalifah dengan berlandaskan kepada ayat al-qur’an surat an-nisa’ ayat 114. Akan tetapi, para Saba’iyin (pengikut Abdullah bin saba’ al-yahudiy) memprovokasi waliy (gubernur) bashrah yang telah ditetapkan oleh Ali ra, bahwa mereka (‘Aisyah dan pengikutnya) datang dengan tujuan berperang. Maka, gubernur mempersiapkan kaum muslimin untuk keluar menghadapi mereka. Namun, kesempatan ini dimanfaatkan oleh para Saba’iyin dan mereka menyalakan api peperangan di tengah-tengah kaum muslimin dengan tipu muslihat dan kejahatan, akan tetapi sebagian besar para Saba’iyin terbunuh pada peperangan ini, dan tipu muslihat yang mereka buat kembali menimpa diri mereka sendiri. Walillahil-hamd.
Sedangkan, Ali ra bersama pasukannya telah sampai di dzi qaar (daerah antara kufah dan wasith) setelah mendengarkan peperangan tersebut, padahal beliau tidak suka terjadinya peperangan. Maka, berlangsung perbincangan dan saling memahami antara beliau dan ‘Aisyah ra serta orang yang menemaninya hingga larut malam hingga jadilah malam itu merupakan malam kebaikan antara dua golongan. Akan tetapi, penyebar fitnah merasakan kekhawatiran menimpa mereka apabila terjadi kesepakatan antara dua golongan tersebut. Maka mereka berangkat pada waktu fajar, dan mereka membagi menjadi dua pasukan. Masing-masing pasukan akan menyerang dua golongan kaum muslimin. Selanjutnya kaum muslimin pun mengangkat senjata karena mengira terjadi pengkhianatan, sehingga berkecamuklah kaum muslimin dalam peperangan yang sengit. Sedangkan para saba’iyun menampakkan segala rasa kedengkian mereka terhadap kaum muslimin dan terus menyalakan api peperangan setiap kali hampir padam. Kemudian Ali ra dan ‘Aisyah rah berusaha menghentikan peperangan. Ali pun mengirim seseorang untuk menyerukan agar peperangan dihentikan, tetapi tidak seorangpun yang mendengarkannya. ‘Aisyah pun mengirim Ka’ab bin suar untuk mengangkat mushaf dan mengajak mereka untuk memperhatikannya, namun serta merta Abdullah bin saba’ melihatnya kemudian membunuhnya.
Para saba’iyin terus menerus menyalakan api peperangan dan berusaha membasmi orang yang berniat menghalanginya. Tatkala Ali ra melihat banyaknya korban yang ada di sekitar jamal (onta), ia mengetahui bahwa kaum muslimin tidak akan selamat dari serangan pasukan yang berada di atas onta, sedangkan masih ada di antara mereka orang yang masih hidup (dikhawatirkan terinjak-injak oleh onta sehingga bertambah banyak jatuh korban). Maka Ali ra memerintahkan para sahabatnya: “sembihlah onta”. Maka, datang seseorang dari belakangnya sehingga ia menyembelih onta tersebut, kemudian onta dengan sekedupnya pun jatuh, selanjutnya seluruh pasukan pecah dan peperangan berakhir.
Ali ra menyediakan untuk Ummul mu’minin Aisyah rah segala kebutuhannya baik perbekalan, harta dan berbagai perkakas. Dan tatkala ummul mu’minin ingin menuju makkah, Ali membekalinya dengan berbagai kebutuhan, dan ia sendiri yang melepas kepergiannya dengan berjalan di sisi sekedupnya hingga ke luar kota. Selanjutnya, Ali ra memerintahkan anak-anaknya untuk mendampingi ummul mu’minin sejauh perjalan sehari dan diiringi oleh saudaranya Muhammad bin abi bakar untuk mendampingi perjalannya menuju makkah kemudian madinah. Peristiwa ini terjadi pada permulaan bulan rajab tahun 36 H. ummul mu’minin tinggal di makkah hingga musim haji, setelah itu menuju madinah dan tinggal di sana hingga wafat tahun 58 H.
Adapun thalhah terbunuh pada peperangan ini. sedangkan, az-zubeir bertolak meninggalkan peperangan setelah mengetahui dan mengakui kesalahannya, akan tetapi para penjahat membunuhnya di tengah perjalanan. Kemudian pembunuhnya mendatangi Ali ra dan menghukumnya.


2.      Perang shiffin

Yaitu peperangan kedua hasil dari perselisihan yang terjadi dan dimanfaatkan oleh para pendengki. Sebagaimana telah diketahui bahwa mu’awiyah ra dan orang-orang bersamanya dari kalangan sahabat yang berada di syam belum membaiat Ali ra yang disebabkan oleh permasalan-permasalahan yang berkenaan seputar baiat diliputi ketidakjelasan dan fitnah, sedangkan madinah ketika itu masih dikuasai oleh para pengkhianat, serta kemarahannya disebabkan belum terlaksananya qisas atas orang yang telah membunuh Utsman ra. Adapun Ali ra marah disebabkan kedurhakaan mereka dan memisahkan diri dengan pertentangan, ia ra dan orang yang mengikutinya tidak ingin ada dua pemegang kekuaan dalam Negara islam, maka ia bertekad menyelesaikannya dengan diskusi dan saling tafahum, apabila tidak berhasil maka dengan jalan peperangan.
Kedua golongan puas dengan hujjah mereka masing-masing. tidak ada indikasi rakus kekuasaan atau kejahatan dan penipuan sebagaimana yang ditebarkan oleh rafidhah (syiah), mereka berdusta atas nama sahabat rasulullah saw. Dengan demikian, maka Ali ra mengumpulkan pasukan untuk menekan terjadinya fitnah, dan semoga saja para penentang mau kembali ke jalan yang benar. Adapun mu’awiyah dan orang-orang yang bersama dengannya mengumpulkan kekuatan untuk membela kebenaran dan menuntut qisas bagi orang-orang yang telah membunuh khalifah Utsman ra yang mana sebagian besar mereka bersembunyi di tengah-tengah pasukan Ali ra, demikianlah seterusnya berlangsung peperangan di antara dua pasukan.


·         Awal mula jalannya peperangan
Pada bulan zulhijjah tahun 36  H, Ali ra berjalan bersama sebanyak lebih kurang 90.000  pasukan, dan bertemu dengan pasukan mu’awiyah ra di kaki bukit antara heleb dan ar-riqqah yang dikenal dengan shiffin dengan jumlah pasukan yang berjumlah mendekati jumlah pasukan Ali ra.
Sebelumnya, kedua kelompok ini sudah mengadakan surat menyurat selama 6 bulan sejak masuknya Ali ra kota kufah. Ini menunjukkan bukti yang nyata bahwa keduanya tidak menginginkan peperangan tetapi menginginkan perdamaian. Adapun muawiyah mengakui kemuliaan Ali ra dan mendahulukannya selangkah, dan itulah yang tampak jelas dari sikapnya sebagai penilaiannya kepada Ali ra, namun yang menjadi masalah adalah ia mensyaratkan agar orang yang membunuh Utsman harus segera diqisas dan setelah itu ia mau membaiat Ali ra sebagai khalifah. Sedangkan yang menjadi masalah bagi Ali ra adalah masalah akidah dan agama yang mana tidak membenarkan adanya dua khalifah dalam satu tempat kekuasaan dan masa (waktu). Maka, mulailah terjadi peperangan di antara dua kelompok tetapi dengan adab yang islami.
لا تقتلوا مدبرا, ولا تجهزوا على جريح, ...

·         Garis-garis besar jalannya peperangan
1.      Peperangan bermula dengan pertempuran yang terjadi di bulan zulhijjah yang disebabkan oleh perselisihan tentang air yang berada di bawah kekuasaan pasukan muawiyah ra, akan tetapi muawiyah memerintahkan pasukannya dengan berkata, “jangan halangi antara saudara kita dan air”.
2.      Kemudian kembali berlangsung surat menyurat di antara mereka selama bulan muharram awal tahun 37 H dengan harapan mereka menemukan solusi dan jalan keluar, tetapi kepuasan dengan pendapat antara masing-masing kelompok menyebabkan terhalangnya menemukan solusi tersebut.
3.      Kembali terjadi peperangan dengan kekuatan yang tidak seimbang namun tidak terlihat hasil kemenangan mutlak di antara kedua belah pihak, karena kedua pasukan sama-sama mengalami korban yang seimbang.

·         Kisah tahkim dan mencegah terjadinya pertumpahan darah
Orang –orang yang ikhlas merasa khawatir kalau-kalau umat islam dari kedua belah pihak semakin banyak korban berjatuhan, maka mereka berharap peperangan segara dihentikan. Adapun amru bin al’ash ra berfikir sejenak hingga ia mendapat petunjuk  untuk melakukan tahkim supaya peperangan besar tidak berlanjut. Selanjutnya ia menyampaikan pemikirannya tersebut kepada muawiyah ra, maka muawiyah ra pun senang dengan pemikirannya tersebut. Pasukan syam serta merta mengangkat mushaf sehingga menyebabkan pasukan Ali ra menghentikan serangannya.
Pada saat demikian itu, mereka rela menyerahkan permasalahan lewat tahkim. Ali ra memilih abu musa al’asy’ari sebagai wakilnya dan mu’awiyah memilih amru bin al’ash sebagai wakilnya untuk mendiskusikan problem yang semakin parah. Kedua wakil sepakat bertemu dan mempelajari perkara yang menjadi akar permasalahan pada tahun yang akan datangnya.
Demikianlah akhir pertempuran sengit yang melahirkan duka nestapa di kalangan kamu muslimin. Namun, kisah-kisah yang sebenarnya ini diputarbalikkan oleh orang-orang rafidhah (syiah) dan musuh-musuh islam dengan tujuan mengaburkan sejarah sahabat rasulullah saw. Di antara kedustaan itu, mereka mengatakan bahwa, “amru bin al’ash meminta diadakannya tahkim sebagai ide licik atau tipu muslihat untuk menyingkirkan muawiyah ra, sedangkan Ali ra memperingatkannya dari tipu muslihat ini, dan lain sebagainya dari kedustaan-kedustaan yang mereka ada-adakan.
Adapun diskusi yang berlangsung di antara dua perwakilan tersebut, banyak sekali riwayat-riwayat yang memaparkannya, namun riwayat-riwayat itu kebanyakan tidak yang benar. Berikut ini, akan dipaparkan jalannya tahkim berdasarkan riwayat yang shahih ditinjau dari sumbernya;
1.      Kedua delegasi bertemu pada waktu yang telah disepakati
2.      Abu musa ra berusaha memberikan solusi yang memuaskan bagi amru bin al’ash dengan memilih Abdullah bin umar ra sebagai khalifah, tetapi amru tetap tidak menyetujuinya. Masing-masing di antara keduanya memberikan pendapat berdasarkan ijtihad mereka demi kemaslahatan kaum muslimin.
3.       Amru bin al’ash berusaha menawarkan kepada abu musa ra dengan kekhalifahan muawiyah ra, jika tidak setuju, maka dengan kekhalifahan Abdullah bin amru bin al’ash. Namun, abu musa ra juga tidak menyetujuinya. Masing-masing tetap berijtihad.
4.      Kedua delegasi sepakat mengangkat khalifah dari orang-orang yang diridhai oleh rasulullah saw sebelum beliau meninggal.
Demikianlah peristiwa yang terjadi seputar tema-tema tahkim, tetapi yang menjadi masalah adalah tahkim berlangsung tanpa ada kesepakatan dari kedua belah pihak dalam menentukan siapa yang akan menjadi khalifah. Adapun riwayat-riwayat dusta yang disebarkan oleh musuh-musuh islam adalah bahwa amru bin al’ash ra telah menipu abu musa al’asy’ari ra, dan salah seseorang dari mereka mencaci maki yang lainnya, dan sebagainya.

·         Ke mana arah dan hasil akhir tahkim?
Kedua pasukan bubar dan kembali ke negeri mereka masing-masing. selanjutnya muawiyah ra mengirim surat kepada Ali ra:
Adapun jika anda berkenan, maka ambillah wilayah Iraq dan aku wilayah Syam, dengan demikian pedang-pedang dari umat ini akan kembali ke sarungnya dan tidak lagi ada pertumpah darah.
Keduanya setuju, sehingga muawiyah ra menguasai sebagian wilayah kaum muslimin dan memasukan daerah mesir sebagai daerah kekuasaan, kemudian memerintah amru bin al’ash sebagai gubernurnya di sana, karena ia orang yang dicintai oleh masyarakatnya sekaligus sebagai pembuka kotanya.


Diterjemahkan oleh Sulaiman al-farisi, dari buku al-khulafa’ ar-raasyidun wad-daulah al-umawiyah


1 komentar:

  1. inilah sejarah yang sebenarnya sebagaimana yang diyakini oleh ahlussunnah waljama'ah

    BalasHapus