KISAH
YANG SEBENARNYA PEMBAI’ATAN KHALIFAH ALI RA
Terpilihnya
Ali ra sebagai khalifah
Setelah
terbunuhnya Utsman di tangan para pengkhianat, mereka mendatangi ali untuk
menawarkan kepadanya jabatan kekhalifahan, tetapi Ali ra tidak meresponnya.
Demikian pula yang dilakukan oleh Thalhah, Az-zubeir, dan Sa’ad bin abi
waqqash. Demikian pula dengan semua para ahli syura (musyawarah), mereka
menolak jabatan kekhalifan agar tidak terjadi prasangka buruk yang ditujukan
kepada mereka dan menuduh mereka telah bekerjasama dengan para pengkhianat yang
menjadikan Utsman sebagai korban pembunuhan lewat tangan mereka. Atau mereka
sebagai pendorong bagi para pengkhianat dalam melakukan kejahatan-kejahatan
mereka. Demikian pula Abdullah bin umar ra menolak jabatan kekhalifahan.
Tatkala
para pengkhianat itu berputus asa dari segala usaha yang mereka lakukan dalam
hal menawarkan jabatan kekhalifahan kepada para sahabat yang mulia, dan mereka
mengetahui bahwa para sahabat tersebut adalah orang-orang yang tidak rakus
kepada jabatan kekhalifahan. Mereka mengumpulkan penduduk madinah dan mengancam
mereka akan membunuh para sahabat yang senior jika belum juga terpilih salah
seorang di antara mereka yang menjabat sebagai khalifah. Seluruh penduduk
madinah mendatangi Ali ra dan memaksanya untuk menerima tawaran dari para
pengkhianat itu demi keselamatan mereka semua agar tidak terjadi bahaya dan
musibah yang lebih besar. Mau tidak mau, Ali ra pun menerima tawaran mereka
dengan pertimbangan untuk menyelamatkan penduduk madinah seluruhnya, maka
diangkatlah Ali ra sebagai khalifah dengan suara terbanyak dari penduduk
madinah dan sahabat-sahabat yang senior.
Peristiwa-peristiwa
penting yang terjadi pada masa kekhalifahan Ali ra
Allah
ta’ala berkehendak fitnah-fitnah tersebut terus menerus bermunculan melalui
tipu daya dan kelicikan para musuh islam sebagai musibah dan ujian bagi kaum
muslimin, karena Allah ta’ala maha bijaksana dalam menetapkan segala ketetapanNya
dan maha tahu dengan segala ketentuanNya.
1. Peranan Ali ra setelah dipilih menjadi khalifah
Ali
ra merasakan dirinya tengah dihadapkan oleh kenyataan-kenyataan yang sulit dan
menyakitkan, seperti menuntaskan perkara Utsman ra yang dibunuh secara zalim.
Para pengkhianat telah menguasai kota madinah, sedangkan penduduknya larut
dalam keadaan sedih bercampur marah. Adapun berita-berita dusta dan isu-isu
terus menyebar di tengah-tengah masyarakat demi memutarbalikkan fakta. Dan
masyarakat terus hidup dalam kebingungan menanggapi berita-berita aneh yang
bermunculan. Dengan kondisi demikian, maka Ali ra melakukan beberapa tindakan
berikut ini:
- Segera
melengserkan Para amir (gubernur) yang memimpin wilayah-wilayah yang
dikuasai selama kekhalifahan Utsman ra, dan melengserkan orang-orang yang
dituduhkan kepada mereka berita-berita bohong oleh para pendusta, di mana
mereka (para pendusta itu) berbuat keji kepada mereka setelah itu mereka
berlepas diri atau tidak mau tahu. Pelengseran ini merupakan ijtihad dari
Ali ra dengan keyakinan hal itu akan meredam membesarnya api fitnah.
Sedangkan, sebagian sahabat lainnya menasehati beliau agar jangan
melengserkan kedudukan para amir, akan tetapi beliau tetap bersikukuh
dengan ijtihadnya.
- Menunda
penyidangan orang yang telah membunuh Utsman ra, padahal orang yang
membunuh Utsman telah jelas dan pasti di samping kaum muslimin di berbagai
belahan telah sepakat atas pengangkatan Ali ra sebagai khalifah, hal ini
disebabkan bahwa para pengkhianat tersebut memiliki kekuatan dan jumlah
yang besar yang tidak mungkin mengalahkan mereka dengan gampang,
sebagaimana mereka menguasai madinah di mana mereka masih bercokol di
sana, dan mereka memasuki ke segala urusan atau permasalahan.
2. Peranan sebagian para sahabat
Para
amir menerima perintah pelengseran ini, kecuali Amir wilayah Syam yaitu Mu’awiyah
bin abi sufyan ra yang tidak merespon pelengseran ini di samping ia mengakui
keutamaan Ali ra dan rela menyerahkan kedudukan kepadanya, tetapi masalahnya ia
belum mendapatkan kejelasan dari sisi syari’at atas pembaitannya. Dan dalam
pandangannya sebenarnya pembai’atan itu berlangsung dan terlaksana di bawah
kekuasaan para pengkhianat yang telah membunuh Utsman ra, disebabkan jauhnya
jarak antara beliau dan madinah, dan jarangnya informasi-informasi yang sampai
kepadanya, karena itulah tangan-tangan para perusak memainkan peranannya dan
memaksa masalah qisas bagi pembunuh Utsman lebih didahulukan daripada masalah
bai’at. Inilah awal mula munculnya perselisihan. Perselisihan ini adalah
disebabkan ijtihad dari kalangan sahabat ra yang disertai dengan niat yang baik
dan tujuan yang baik dari mereka. Karena itu,
ahlussunnah wal-jama’ah menetapkan bahwa masing-masing dari mereka
mendapatkan pahala, bagi yang benar mendapatkan dua pahala, sedangkan bagi yang
salah mendapatkan satu pahala. Adapun yang benar adalah Ali ra, dan yang salah
adalah orang yang menentang dan memeranginya, semoga Allah ta’ala merahmati dan
meridhoi mereka semua.
Adapun
rafidhah dan ahlul-bid’ah wal-ahwa’ mengambil kesempatan untuk memanfaatkan
perselisihan ini dan permasalahan lain yang muncul akibat perselisihan ini,
mereka menuduh para sahabat rasulullah
saw dengan berbagai keburukan dan mencaci maki mereka. Amru bin al-‘ash menurut
mereka adalah orang yang sesat, pembuat makar (kejahatan) dan penipu.
Sedangkan, Abu musa al-‘asy’ariy adalah orang yang lengah. Dan Mu’awiyah adalah
orang yang rakus kepada kekuasaan, Dan lain sebagainya dari apa-apa yang mereka
tulis dan riwayatkan di dalam buku-buku sejarah mereka. Semoga Allah ta’ala
meridhoi para sahabat dan membersihkan mereka dari perkataan-perkataan para
ahli kebatilan dan para pendengki.
Hasil
dari pemanfaatan perselisihan ini oleh para pendengki adalah terjadi dua peperangan yang sangat
disayangkan di antara kaum muslimin dalam hal mempertahankan apa yang diyakini
hak dan benar oleh masing-masing kelompok. Dua peperanga itu adalah;
1. Perang Jamal
Sebabnya
adalah Ummul mu’minin ‘Aisyah rah yang ditemani oleh thalhah dan az-zubeir ra
yang diikuti sebagian besar kaum muslimin berjalan menuju bashrah dengan niat
melunakkan hati dan menenangkan suasana yang goncang serta mendamaikan di
antara kaum muslimin yang berselisih setelah pengangkatan Ali sebagai khalifah
dengan berlandaskan kepada ayat al-qur’an surat an-nisa’ ayat 114. Akan tetapi,
para Saba’iyin (pengikut Abdullah bin saba’ al-yahudiy) memprovokasi waliy (gubernur)
bashrah yang telah ditetapkan oleh Ali ra, bahwa mereka (‘Aisyah dan
pengikutnya) datang dengan tujuan berperang. Maka, gubernur mempersiapkan kaum
muslimin untuk keluar menghadapi mereka. Namun, kesempatan ini dimanfaatkan
oleh para Saba’iyin dan mereka menyalakan api peperangan di tengah-tengah kaum
muslimin dengan tipu muslihat dan kejahatan, akan tetapi sebagian besar para
Saba’iyin terbunuh pada peperangan ini, dan tipu muslihat yang mereka buat
kembali menimpa diri mereka sendiri. Walillahil-hamd.
Sedangkan,
Ali ra bersama pasukannya telah sampai di dzi qaar (daerah antara kufah dan
wasith) setelah mendengarkan peperangan tersebut, padahal beliau tidak suka
terjadinya peperangan. Maka, berlangsung perbincangan dan saling memahami
antara beliau dan ‘Aisyah ra serta orang yang menemaninya hingga larut malam
hingga jadilah malam itu merupakan malam kebaikan antara dua golongan. Akan
tetapi, penyebar fitnah merasakan kekhawatiran menimpa mereka apabila terjadi
kesepakatan antara dua golongan tersebut. Maka mereka berangkat pada waktu
fajar, dan mereka membagi menjadi dua pasukan. Masing-masing pasukan akan
menyerang dua golongan kaum muslimin. Selanjutnya kaum muslimin pun mengangkat
senjata karena mengira terjadi pengkhianatan, sehingga berkecamuklah kaum
muslimin dalam peperangan yang sengit. Sedangkan para saba’iyun menampakkan
segala rasa kedengkian mereka terhadap kaum muslimin dan terus menyalakan api
peperangan setiap kali hampir padam. Kemudian Ali ra dan ‘Aisyah rah berusaha
menghentikan peperangan. Ali pun mengirim seseorang untuk menyerukan agar
peperangan dihentikan, tetapi tidak seorangpun yang mendengarkannya. ‘Aisyah
pun mengirim Ka’ab bin suar untuk mengangkat mushaf dan mengajak mereka untuk
memperhatikannya, namun serta merta Abdullah bin saba’ melihatnya kemudian
membunuhnya.
Para
saba’iyin terus menerus menyalakan api peperangan dan berusaha membasmi orang
yang berniat menghalanginya. Tatkala Ali ra melihat banyaknya korban yang ada
di sekitar jamal (onta), ia mengetahui bahwa kaum muslimin tidak akan selamat
dari serangan pasukan yang berada di atas onta, sedangkan masih ada di antara
mereka orang yang masih hidup (dikhawatirkan terinjak-injak oleh onta sehingga
bertambah banyak jatuh korban). Maka Ali ra memerintahkan para sahabatnya:
“sembihlah onta”. Maka, datang seseorang dari belakangnya sehingga ia
menyembelih onta tersebut, kemudian onta dengan sekedupnya pun jatuh,
selanjutnya seluruh pasukan pecah dan peperangan berakhir.
Ali
ra menyediakan untuk Ummul mu’minin Aisyah rah segala kebutuhannya baik
perbekalan, harta dan berbagai perkakas. Dan tatkala ummul mu’minin ingin
menuju makkah, Ali membekalinya dengan berbagai kebutuhan, dan ia sendiri yang
melepas kepergiannya dengan berjalan di sisi sekedupnya hingga ke luar kota.
Selanjutnya, Ali ra memerintahkan anak-anaknya untuk mendampingi ummul mu’minin
sejauh perjalan sehari dan diiringi oleh saudaranya Muhammad bin abi bakar
untuk mendampingi perjalannya menuju makkah kemudian madinah. Peristiwa ini
terjadi pada permulaan bulan rajab tahun 36 H. ummul mu’minin tinggal di makkah
hingga musim haji, setelah itu menuju madinah dan tinggal di sana hingga wafat
tahun 58 H.
Adapun
thalhah terbunuh pada peperangan ini. sedangkan, az-zubeir bertolak meninggalkan
peperangan setelah mengetahui dan mengakui kesalahannya, akan tetapi para
penjahat membunuhnya di tengah perjalanan. Kemudian pembunuhnya mendatangi Ali
ra dan menghukumnya.
2. Perang shiffin
Yaitu
peperangan kedua hasil dari perselisihan yang terjadi dan dimanfaatkan oleh
para pendengki. Sebagaimana telah diketahui bahwa mu’awiyah ra dan orang-orang
bersamanya dari kalangan sahabat yang berada di syam belum membaiat Ali ra yang
disebabkan oleh permasalan-permasalahan yang berkenaan seputar baiat diliputi
ketidakjelasan dan fitnah, sedangkan madinah ketika itu masih dikuasai oleh
para pengkhianat, serta kemarahannya disebabkan belum terlaksananya qisas atas
orang yang telah membunuh Utsman ra. Adapun Ali ra marah disebabkan kedurhakaan
mereka dan memisahkan diri dengan pertentangan, ia ra dan orang yang
mengikutinya tidak ingin ada dua pemegang kekuaan dalam Negara islam, maka ia
bertekad menyelesaikannya dengan diskusi dan saling tafahum, apabila tidak
berhasil maka dengan jalan peperangan.
Kedua
golongan puas dengan hujjah mereka masing-masing. tidak ada indikasi rakus
kekuasaan atau kejahatan dan penipuan sebagaimana yang ditebarkan oleh rafidhah
(syiah), mereka berdusta atas nama sahabat rasulullah saw. Dengan demikian,
maka Ali ra mengumpulkan pasukan untuk menekan terjadinya fitnah, dan semoga
saja para penentang mau kembali ke jalan yang benar. Adapun mu’awiyah dan
orang-orang yang bersama dengannya mengumpulkan kekuatan untuk membela
kebenaran dan menuntut qisas bagi orang-orang yang telah membunuh khalifah
Utsman ra yang mana sebagian besar mereka bersembunyi di tengah-tengah pasukan
Ali ra, demikianlah seterusnya berlangsung peperangan di antara dua pasukan.
·
Awal mula
jalannya peperangan
Pada
bulan zulhijjah tahun 36 H, Ali ra berjalan bersama sebanyak lebih
kurang 90.000 pasukan, dan bertemu
dengan pasukan mu’awiyah ra di kaki bukit antara heleb dan ar-riqqah yang
dikenal dengan shiffin dengan jumlah pasukan yang berjumlah mendekati jumlah
pasukan Ali ra.
Sebelumnya,
kedua kelompok ini sudah mengadakan surat menyurat selama 6 bulan sejak
masuknya Ali ra kota kufah. Ini menunjukkan bukti yang nyata bahwa keduanya
tidak menginginkan peperangan tetapi menginginkan perdamaian. Adapun muawiyah
mengakui kemuliaan Ali ra dan mendahulukannya selangkah, dan itulah yang tampak
jelas dari sikapnya sebagai penilaiannya kepada Ali ra, namun yang menjadi
masalah adalah ia mensyaratkan agar orang yang membunuh Utsman harus segera
diqisas dan setelah itu ia mau membaiat Ali ra sebagai khalifah. Sedangkan yang
menjadi masalah bagi Ali ra adalah masalah akidah dan agama yang mana tidak
membenarkan adanya dua khalifah dalam satu tempat kekuasaan dan masa (waktu).
Maka, mulailah terjadi peperangan di antara dua kelompok tetapi dengan adab
yang islami.
لا تقتلوا مدبرا, ولا
تجهزوا على جريح, ...
·
Garis-garis
besar jalannya peperangan
1. Peperangan
bermula dengan pertempuran yang terjadi di bulan zulhijjah yang disebabkan oleh
perselisihan tentang air yang berada di bawah kekuasaan pasukan muawiyah ra,
akan tetapi muawiyah memerintahkan pasukannya dengan berkata, “jangan halangi
antara saudara kita dan air”.
2. Kemudian
kembali berlangsung surat menyurat di antara mereka selama bulan muharram awal
tahun 37 H dengan harapan mereka menemukan solusi dan jalan keluar, tetapi kepuasan
dengan pendapat antara masing-masing kelompok menyebabkan terhalangnya
menemukan solusi tersebut.
3. Kembali
terjadi peperangan dengan kekuatan yang tidak seimbang namun tidak terlihat
hasil kemenangan mutlak di antara kedua belah pihak, karena kedua pasukan
sama-sama mengalami korban yang seimbang.
·
Kisah tahkim dan
mencegah terjadinya pertumpahan darah
Orang
–orang yang ikhlas merasa khawatir kalau-kalau umat islam dari kedua belah
pihak semakin banyak korban berjatuhan, maka mereka berharap peperangan segara
dihentikan. Adapun amru bin al’ash ra berfikir sejenak hingga ia mendapat
petunjuk untuk melakukan tahkim supaya
peperangan besar tidak berlanjut. Selanjutnya ia menyampaikan pemikirannya
tersebut kepada muawiyah ra, maka muawiyah ra pun senang dengan pemikirannya
tersebut. Pasukan syam serta merta mengangkat mushaf sehingga menyebabkan
pasukan Ali ra menghentikan serangannya.
Pada
saat demikian itu, mereka rela menyerahkan permasalahan lewat tahkim. Ali ra
memilih abu musa al’asy’ari sebagai wakilnya dan mu’awiyah memilih amru bin
al’ash sebagai wakilnya untuk mendiskusikan problem yang semakin parah. Kedua
wakil sepakat bertemu dan mempelajari perkara yang menjadi akar permasalahan
pada tahun yang akan datangnya.
Demikianlah
akhir pertempuran sengit yang melahirkan duka nestapa di kalangan kamu
muslimin. Namun, kisah-kisah yang sebenarnya ini diputarbalikkan oleh orang-orang
rafidhah (syiah) dan musuh-musuh islam dengan tujuan mengaburkan sejarah
sahabat rasulullah saw. Di antara kedustaan itu, mereka mengatakan bahwa, “amru
bin al’ash meminta diadakannya tahkim sebagai ide licik atau tipu muslihat
untuk menyingkirkan muawiyah ra, sedangkan Ali ra memperingatkannya dari tipu
muslihat ini, dan lain sebagainya dari kedustaan-kedustaan yang mereka ada-adakan.
Adapun
diskusi yang berlangsung di antara dua perwakilan tersebut, banyak sekali
riwayat-riwayat yang memaparkannya, namun riwayat-riwayat itu kebanyakan tidak
yang benar. Berikut ini, akan dipaparkan jalannya tahkim berdasarkan riwayat
yang shahih ditinjau dari sumbernya;
1. Kedua
delegasi bertemu pada waktu yang telah disepakati
2. Abu
musa ra berusaha memberikan solusi yang memuaskan bagi amru bin al’ash dengan
memilih Abdullah bin umar ra sebagai khalifah, tetapi amru tetap tidak
menyetujuinya. Masing-masing di antara keduanya memberikan pendapat berdasarkan
ijtihad mereka demi kemaslahatan kaum muslimin.
3. Amru bin al’ash berusaha menawarkan kepada abu
musa ra dengan kekhalifahan muawiyah ra, jika tidak setuju, maka dengan
kekhalifahan Abdullah bin amru bin al’ash. Namun, abu musa ra juga tidak
menyetujuinya. Masing-masing tetap berijtihad.
4. Kedua
delegasi sepakat mengangkat khalifah dari orang-orang yang diridhai oleh
rasulullah saw sebelum beliau meninggal.
Demikianlah
peristiwa yang terjadi seputar tema-tema tahkim, tetapi yang menjadi masalah
adalah tahkim berlangsung tanpa ada kesepakatan dari kedua belah pihak dalam
menentukan siapa yang akan menjadi khalifah. Adapun riwayat-riwayat dusta yang
disebarkan oleh musuh-musuh islam adalah bahwa amru bin al’ash ra telah menipu
abu musa al’asy’ari ra, dan salah seseorang dari mereka mencaci maki yang
lainnya, dan sebagainya.
·
Ke mana arah dan
hasil akhir tahkim?
Kedua
pasukan bubar dan kembali ke negeri mereka masing-masing. selanjutnya muawiyah
ra mengirim surat kepada Ali ra:
Adapun
jika anda berkenan, maka ambillah wilayah Iraq dan aku wilayah Syam, dengan
demikian pedang-pedang dari umat ini akan kembali ke sarungnya dan tidak lagi
ada pertumpah darah.
Keduanya
setuju, sehingga muawiyah ra menguasai sebagian wilayah kaum muslimin dan
memasukan daerah mesir sebagai daerah kekuasaan, kemudian memerintah amru bin
al’ash sebagai gubernurnya di sana, karena ia orang yang dicintai oleh
masyarakatnya sekaligus sebagai pembuka kotanya.
Diterjemahkan
oleh Sulaiman al-farisi, dari buku al-khulafa’ ar-raasyidun wad-daulah
al-umawiyah
inilah sejarah yang sebenarnya sebagaimana yang diyakini oleh ahlussunnah waljama'ah
BalasHapus