Rabu, 30 Maret 2011

IMAN KEPADA TAQDIR ALLAH TA’ALA


Oleh: Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd

APA KEWAJIBAN HAMBA BERKENAAN DENGAN MASALAH TAKDIR?
Kewajiban seorang hamba dalam masalah ini ialah mengimani qadha' Allah dan qadar-Nya, serta mengimani syari'at, perintah dan larangan-Nya. Ia berkewajiban untuk membenarkan khabar (berita) dan mentaati perintah.
Jika ia berbuat kebajikan, hendaklah ia memuji Allah dan jika ia berbuat keburukan, hendaklah ia memohon ampun kepada-Nya. Ia pun mengetahui bahwa semua itu terjadi dengan qadha' Allah dan qadar-Nya. Sesungguhnya, ketika Nabi Adam Alaihissalam melakukan dosa, maka dia bertaubat, lalu Rabb-nya memilihnya dan memberi petunjuk kepadanya. Sedangkan iblis, ia tetap meneruskan dosa dan menghujat, maka Allah melaknat dan mengusirnya. Barang-siapa yang bertaubat, maka ia sesuai dengan sifat Nabi Adam Alaihissalam, dan barangsiapa yang meneruskan dosanya serta berdalihkan dengan takdir, maka ia sesuai dengan sifat iblis. Maka orang-orang yang berbahagia akan mengikuti bapak mereka, dan orang-orang yang celaka akan mengikuti musuh mereka, iblis.
"Dengan pemahaman terhadap qadar Allah dan pelaksanaan terhadap syari'at-Nya secara benar, maka manusia akan menjadi seorang hamba -yang hakiki-, sehingga dia akan bersama orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah, yaitu para Nabi, ash-shiddiqin, asy-syuhada' dan ash-shalihin. Cukuplah dengan persahabatan ini suatu keberuntungan dan kebahagiaan."
Kesimpulannya, ia wajib mengimani keempat tingkatan takdir yang telah disinggung sebelumnya. Yaitu, tidak ada sesuatu pun yang terjadi melainkan Allah telah mengetahui, mencatat, meng-hendaki, dan menciptakannya. Ia mengimani juga bahwa Allah memerintahkan agar mentaati-Nya dan melarang bermaksiat kepada-Nya, lalu ia melakukan ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan. Apabila Allah memberi taufik kepadanya untuk melakukan ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan, maka hendaklah ia memuji Allah dan meneruskan hal itu. Tetapi apabila dirinya dibiarkan dan dipasrahkan (oleh Allah) kepada dirinya sendiri, lalu ia melakukan kemaksiatan dan meninggalkan ketaatan, maka hendaklah ia beristighfar dan bertaubat.
Kemudian, hamba juga berkewajiban untuk bekerja demi kemaslahatan duniawinya, dan menempuh cara-cara yang benar yang dapat menghantarkan ke sana, lalu ia berjalan di muka bumi dan segala penjurunya. Jika berbagai perkara datang sesuai dengan apa yang dikehendakinya, hendaklah ia memuji Allah, dan jika datang tidak sesuai dengan yang diinginkannya, maka ia terhibur dengan qadar Allah. Ia tahu bahwa itu semua terjadi dengan qadar Allah Azza wa Jalla, dan bahwa apa yang menimpanya tidak pernah luput darinya, serta apa yang luput darinya tidak akan pernah menimpanya.
"Jika hamba mengetahui secara global bahwa Allah dalam apa yang diciptakan dan diperintahkan-Nya memiliki hikmah yang besar, maka hal ini cukuplah baginya (menjadikannya tenang). Kemudian setiap kali bertambah ilmu dan keimanannya, maka semakin tampak pula baginya hikmah Allah dan rahmat-Nya yang mengagumkan akalnya, serta menjelaskan kepadanya kebenaran apa yang dikabarkan Allah dalam kitab-Nya."
Bukan menjadi suatu keharusan bagi setiap orang untuk mengetahui detil pembicaraan tentang iman kepada qadar, tetapi keima-nan secara global ini sudah mencukupi. Ahlus Sunnah wal Jama'ah -sebagaimana yang dinyatakan oleh mereka- tidak mewajibkan atas orang yang lemah apa yang diwajibkan atas orang yang mampu.
Alhamdulillaah, selesailah pembahasan kita mengenai dalil-dalil syari'at, fitrah, akal, dan secara inderawi, yang tidak ada kontradiksi di dalamnya dan tidak ada kesamaran.

MACAM-MACAM TAKDIR

Macam-macam takdir itu antara lain:
1. At-Taqdiirul 'Aam (Takdir yang bersifat umum).
2. At-Taqdiirul Basyari (Takdir yang berlaku untuk manusia).
3. At-Taqdiirul 'Umri (Takdir yang berlaku bagi usia).
4. At-Taqdiirus Sanawi (Takdir yang berlaku tahunan).
5. At-Taqdiirul Yaumi (Takdir yang berlaku harian).

1.      At-Taqdiirul 'Aam (Takdir yang bersifat umum).
Ialah takdir Rabb untuk seluruh alam, dalam arti Dia mengetahuinya (dengan ilmu-Nya), mencatatnya, menghendaki, dan juga menciptakannya.
Jenis ini ditunjukkan oleh berbagai dalil, di antaranya firman Allah Ta'ala:
"Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi? Bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh) Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah". [Al-Hajj: 70]
Dalam Shahiih Muslim dari 'Abdullah bin 'Amr Radhiyallahu 'anhuma bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Allah menentukan berbagai ketentuan para makhluk, 50.000 tahun sebelum menciptakan langit dan bumi. "Beliau bersabda, "Dan adalah 'Arsy-Nya di atas air."
2.      At-Taqdiirul Basyari (Takdir yang berlaku untuk manusia).
Ialah takdir yang di dalamnya Allah mengambil janji atas semua manusia bahwa Dia adalah Rabb mereka, dan menjadikan mereka sebagai saksi atas diri mereka akan hal itu, serta Allah menentukan di dalamnya orang-orang yang berbahagia dan orang-orang yang celaka. Dia berfirman:
"Dan (ingatlah), ketika Rabb-mu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), Bukankah Aku ini Rabb-mu. Mereka menjawab, Betul (Engkau Rabb kami), kami menjadi saksi. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan, Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Rabb)." [Al-A'raaf:172]
Dari Hisyam bin Hakim, bahwa seseorang datang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam lalu mengatakan, "Apakah amal-amal itu dimulai ataukah ditentukan oleh qadha'?" Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab:
"Allah mengambil keturunan Nabi Adam Alaihissalam dari tulang sulbi mereka, kemudian menjadikan mereka sebagai saksi atas diri mereka, kemudian mengumpulkan mereka dalam kedua telapak tangan-Nya seraya berfirman, 'Mereka di Surga dan mereka di Neraka.' Maka ahli Surga dimudahkan untuk beramal dengan amalan ahli Surga dan ahli Neraka dimudahkan untuk beramal dengan amalan ahli Neraka."
3.      At-Taqdiirul 'Umri (Takdir yang berlaku bagi usia).
Ialah segala takdir (ketentuan) yang terjadi pada hamba dalam kehidupannya hingga akhir ajalnya, dan juga ketetapan tentang kesengsaraan atau kebahagiaannya.
Hal tersebut ditunjukkan oleh hadits ash-Shadiqul Mashduq (Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam) dalam Shahiihain dari Ibnu Mas'ud secara marfu':
"Sesungguhnya salah seorang dari kalian dikumpulkan penciptaannya dalam perut ibunya selama mpat puluh hari, kemudian menjadi segumpal darah seperti itu pula (empat puluh hari), kemudian menjadi segumpal daging seperti itu pula, kemudian Dia mengutus seorang Malaikat untuk meniupkan ruh padanya, dan diperintahkan (untuk menulis) dengan empat kalimat: untuk menulis rizkinya, ajalnya, amalnya, dan celaka atau bahagia(nya)."
4.      At-Taqdiirus Sanawi (Takdir yang berlaku tahunan).
Yaitu dalam malam Qadar (Lailatul Qadar) pada setiap tahun. Hal itu ditunjukkan oleh firman Allah Ta'ala:
"Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah." [Ad-Dukhaan: 4]
Dan dalam firman-Nya:
"Pada malam itu turun para Malaikat dan juga Malaikat Jibril dengan izin Rabb-nya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar." [Al-Qadr: 4-5]
Disebutkan, bahwa pada malam tersebut ditulis apa yang akan terjadi dalam setahun (ke depan,-ed.) mengenai kematian, kehidupan, kemuliaan dan kehinaan, juga rizki dan hujan, hingga (mengenai siapakah) orang-orang yang (akan) berhaji. Dikatakan (pada takdir itu), fulan akan berhaji dan fulan akan berhaji.
Penjelasan ini diriwayatkan dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma, demikian juga al-Hasan serta Sa'id bin Jubair.
5.      At-Taqdiirul Yaumi (Takdir yang berlaku harian)
Dalilnya ialah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala
"Setiap waktu Dia dalam kesibukan." [Ar-Rahmaan: 29]
Disebutkan mengenai tafsir ayat tersebut: Kesibukan-Nya ialah memuliakan dan menghinakan, meninggikan dan merendahkan (derajat), memberi dan menghalangi, menjadikan kaya dan fakir, membuat tertawa dan menangis, mematikan dan menghidupkan, dan seterusnya.

APAKAH IMAN KEPADA QADAR MENAFIKAN KEHENDAK HAMBA DALAM BERBAGAI PEBUATAN YANG DAPAT DIPILIHNYA?

Iman kepada qadar -sebagaimana yang telah disinggung- tidak menafikan keadaan hamba dalam memiliki kehendak pada perbuatan-perbuatan yang dipilihnya dan mempunyai kuasa terhadapnya. Hal itu ditunjukkan oleh syari'at dan fakta.
Dalam syar'at, dalil-dalil mengenai hal itu sangat banyak sekali, di antaranya firman Allah Ta'ala.
".. Maka barangsiapa yang menghendaki, niscaya ia menempuh jalan kembali kepada Rabb-nya." [An-Naba': 39]
Juga firman-Nya yang lain.
".. Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki.." [Al-Baqarah: 223]
Juga firman-Nya.
"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya..."[Al-Baqarah: 286]
Dan firman-Nya.
"Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabb-mu..." [Ali 'Imran: 133]
Serta firman-Nya.
"..Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir...". [Al-Kahfi: 29]
Sedangkan berdasarkan fakta, maka setiap manusia mengetahui bahwa dia mempunyai kehendak dan kemampuan untuk melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan, serta mampu membedakan antara apa yang terjadi dengan kehendaknya, seperti berjalan, dan apa yang terjadi dengan selain kehendaknya, seperti gemetar.
Tetapi kehendak dan kemampuannya terjadi karena kehendak dan kekuasaan Allah, berdasarkan firman-Nya.
"(Yaitu) bagi siapa di antaramu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Rabb semesta alam". [At-Takwiir: 28-29]
Penjelasannya, adalah sebagaimana yang dinyatakan oleh al-'Allamah Ibnu Sa'di rahimahullah.
"Jika seorang hamba shalat, berpuasa, beramal kebaikan, atau melakukan sesuatu dari kemaksiatan, maka dialah yang melakukan amal yang shalih dan amal yang buruk tersebut.
Perbuatannya tersebut, tanpa diragukan lagi, terjadi dengan kesadarannya, dan ia merasa bahwa ia tidak dipaksa untuk melakukan atau meninggalkan. Sekiranya ia suka, niscaya ia tidak melakukannya.
Sebagaimana hal tersebut adalah kenyataan, maka hal itu pula yang dinashkan Allah dalam kitab-Nya dan dinashkan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam, dimana nash tersebut menisbatkan amal yang shalih dan amal yang buruk kepada para hamba serta mengabarkan bahwa merekalah yang melakukannya. Mereka dipuji atas perbuatannya, jika terkait dengan amal shalih, serta diberi pahala, dan mereka dicela, jika yang dilakukan adalah keburukan, serta diberi sanksi atas perbuatan buruk tersebut.
Dengan ini jelaslah bahwa perbuatan itu terjadi dari mereka dan dengan kesadaran mereka. Jika suka, mereka bisa melakukannya, dan jika suka, mereka bisa meninggalkannya. Perkara ini nyata secara akal, inderawi, syari'at, dan bisa disaksikan.
Kendati demikian, jika anda ingin tahu bahwa perbuatan ini -meskipun memang demikian keadaannya- terjadi dari mereka, bagaimana hal itu termasuk dalam kategori takdir? Dan bagaimana hal itu masuk dalam cakupan masyii-ah? Dan ditanyakan pula: Dengan apakah perbuatan-perbuatan yang baik dan yang buruk yang berasal dari hamba itu terjadi? Jawabannya: Dengan kemampuan dan kehendak mereka.
(Allah) Yang menciptakan sesuatu (sarana) yang dengannya perbuatan itu terlaksana, Dia-lah juga Yang menciptakan berbagai perbuatan. Inilah yang bisa menjelaskan permasalahan (problem), dan hamba pun bisa memahami dengan hatinya tentang kesatuan (antara) qadar, qadha', dan ikhtiar (usaha).
Kendati demikian, Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menolong kaum mukminin dengan berbagai sebab, kelembutan, bantuan yang bermacam-macam, dan memalingkan berbagai rintangan dari mereka. Sebagai-mana sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
".. Adapun orang-orang yang termasuk orang-orang yang berbahagia, maka mereka dimudahkan untuk beramal dengan amalan orang-orang yang berbahagia.." [2]
Demikian pula, Dia meninggalkan kaum yang fasik dan menyerahkan mereka kepada diri mereka sendiri, karena mereka tidak beriman dan bertawakkal kepada-Nya, maka Allah serahkan mereka pada apa yang mereka pilih bagi diri mereka sendiri".

(BOLEHKAH) BERALASAN DENGAN TAKDIR ATAS PERBUATAN MAKSIAT ATAU DARI MENINGGALKAN KEWAJIBAN

Keimanan kepada qadar tidaklah memperkenankan pelaku kemaksiatan untuk beralasan dengannya atas kewajiban yang ditinggalkannya atau kemaksiatan yang dikerjakannya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, "Tidak boleh seseorang berdalih dengan takdir atas dosa (yang dilakukannya) berdasarkan kesepakatan (ulama) kaum muslimin, seluruh pemeluk agama, dan semua orang yang berakal. Seandainya hal ini diterima (dibolehkan), niscaya hal ini dapat memberikan peluang kepada setiap orang untuk melakukan perbuatan yang merugikannya, seperti membunuh jiwa, merampas harta, dan seluruh jenis kerusakan di muka bumi, kemudian ia pun beralasan dengan takdir. Ketika orang yang beralasan dengan takdir dizhalimi dan orang yang menzhaliminya beralasan yang sama dengan takdir, maka hal ini tidak bisa diterima, bahkan kontradiksi. Pernyataan yang kontradiksi menunjukkan kerusakan pernyataan tersebut. Jadi, beralasan dengan qadar itu sudah dimaklumi kerusakannya di permulaan akal".
Karena perkara ini menimbulkan banyak bencana, maka inilah pemaparan mengenai sebagian dalil-dalil syar'i, 'aqli (akal), dan kenyataan, yang menjelaskan kebathilan dengan beralasan kepada qadar (takdir) atas perbuatan maksiat, atau dari meninggalkan ketaatan.

1.      Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Orang-orang yang mempersekutukan Allah, akan mengatakan, 'Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) kami mengharamkan barang sesuatu apa pun.' Demikian pulalah orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (para Rasul) sampai mereka merasakan siksaan Kami. Kamu tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kamu tidak lain hanya berdusta".[Al-An-'aam: 148]
Kaum musyrikin tersebut berdalih dengan takdir atas perbuatan syirik mereka. Seandainya argumen mereka diterima dan benar, niscaya Allah tidak menimpakan adzab-Nya kepada mereka.
2.      Dia Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"(Mereka Kami utus) selaku Rasul-Rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, agar tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Allah sesudah diutusnya Rasul-Rasul itu... ". [An-Nisaa' : 165]
Seandainya berdalih dengan takdir atas kemaksiatan itu diperbolehkan, niscaya tidak ada sebab untuk mengutus para Rasul.
3.      Allah memerintahkan hamba dan melarangnya, serta tidak membebaninya kecuali apa yang disanggupinya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu...". [At-Taghaabun: 16]
Juga firman-Nya yang lain:
"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya...". [Al-Baqarah : 286]
Seandainya hamba dipaksa untuk melakukan suatu perbuatan, maka dia berarti telah dibebani dengan sesuatu yang dirinya tidak mampu terbebas darinya. Ini adalah suatu kebathilan. Oleh karena itu, jika kemaksiatan terjadi padanya karena kebodohan, lupa atau paksaan, maka tidak ada dosa atasnya karena ia dimaafkan.
4.      Qadar adalah rahasia yang tersembunyi, tidak ada seorang makhluk pun yang mengetahuinya kecuali setelah takdir itu terjadi, dan kehendak hamba terhadap apa yang dilakukannya adalah mendahului perbuatannya. Jadi, kehendaknya untuk berbuat, tidaklah berdasarkan pada pengetahuan tentang takdir Allah. Oleh karena itu, pengakuannya bahwa Allah telah menakdirkan kepadanya demikian dan demikian adalah pengakuan yang bathil, karena ia telah mengaku mengetahui yang ghaib, sedangkan perkara ghaib itu hanyalah diketahui oleh Allah. Dengan demikian, argumennya batal, sebab tidak ada argumen bagi seseorang mengenai sesuatu yang tidak diketahuinya.
5.      Seandainya kita membebaskan orang yang berdalih dengan qadar atas perbuatan dosa, niscaya kita telah menafikan syari'at.
6.      Seandainya berdalih dengan qadar -semacam ini- bisa menjadi hujjah (argumen), niscaya telah diterima argumentasi dari iblis yang mengatakan, (sebagaimana yang difirmankan oleh Allah):
"Iblis menjawab, 'Karena Engkau telah menghukumku tersesat, aku benar-benar akan (menghalangi) mereka dari jalan-Mu yang lurus". [Al-A'raaf: 16]
7.      Seandainya dalih mereka diterima juga, niscaya Fir'aun, musuh Allah, sama dengan Nabi Musa Alaihissalam, Nabi yang diajak bicara oleh Allah secara langsung.
8.      Berdalih dengan qadar atas perbuatan dosa dan aib, berarti membenarkan pendapat kaum kafir, dan ini merupakan kelaziman bagi orang yang berdalih, tidak terpisah darinya.
9.      Seandainya itu suatu argumen (yang benar), niscaya ahli Neraka berargumen dengannya, ketika mereka melihat Neraka dan merasa bahwa mereka akan memasukinya. Demikian pula ketika mereka memasukinya, dan mereka mulai dicela serta dihukum. Apakah mereka akan berdalih dengan qadar atas kemaksiatan dan kekafiran mereka?
Jawabannya: Tidak, bahkan mereka mengatakan, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla tentang mereka:
"..Ya Rabb kami, beri tangguhlah kami (kembalikan kami ke dunia) walaupun dalam waktu yang sedikit, niscaya kami akan mematuhi seruan-Mu dan akan mengikuti para Rasul...". [Ibrahim: 44]
Mereka juga mengatakan:
"...Ya Rabb kami, kami telah dikuasai oleh kejahatan kami...". [Al-Mu'minuun: 106]
Mereka juga mengatakan:
"...Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu), niscaya tidaklah kami termasuk penghuni Neraka yang menyala-nyala". [Al-Mulk: 10]
Dan mereka mengatakan:
"...Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat". [Al-Muddatstsir: 43]
Juga perkataan-perkataan mereka lainnya yang mereka katakan. Seandainya berdalih dengan qadar atas kemaksiatan itu diperbolehkan, niscaya mereka berdalih dengannya, karena mereka sangat membutuhkan sesuatu yang dapat menyelamatkan mereka dari siksa Neraka Jahannam.
10.  Di antara (jawaban) lain yang dapat menolak pendapat ini adalah, bahwa kita melihat manusia menginginkan sesuatu yang pantas untuknya dalam berbagai urusan dunianya hingga ia dapat memperolehnya. Ia tidak berpaling darinya kepada sesuatu yang tidak pantas untuknya, kemudian berdalih atas berpalingnya ia darinya tersebut dengan takdir.
Lalu mengapa ia berpaling dari apa yang bermanfaat baginya dalam urusan agamanya kepada perkara yang merugikannya kemudian berargumen dengan qadar?!
Saya berikan contoh kepadamu yang menjelaskan hal itu : Seandainya manusia hendak bepergian ke suatu negeri, dan negeri tersebut mempunyai dua jalan: salah satunya aman sentosa dan yang lainnya terjadi tindakan anarkis, kekacauan, pembunuhan, dan perampasan, manakah di antara keduanya yang akan dilaluinya?
Tidak diragukan lagi bahwa ia akan menempuh jalan yang pertama, lalu mengapa ia tidak menempuh jalan ke akhirat melalui jalan Surga, tanpa melalui jalan Neraka?
11.  Di antara jawaban yang dapat diberikan kepada orang yang berdalih dengan takdir ini -berdasarkan madzhabnya- ialah katakan kepadanya, "Janganlah engkau menikah! Sebab jika Allah menghendaki kepadamu seorang anak, maka anak itu akan datang kepadamu dan jika tidak menghendakinya, maka anak tersebut tidak datang (walaupun menikah)!". "Janganlah makan dan minum! Sebab jika Allah menakdirkan kepadamu kenyang dan tidak kehausan, maka hal itu akan terwujud dan jika tidak, maka hal itu tidak akan terwujud". "Jika binatang buas lagi berbahaya menyerangmu, jangan lari darinya! Sebab jika Allah menakdirkan untukmu keselamatan, maka kamu akan selamat dan jika tidak menakdirkan keselamatan untukmu, maka lari tidak bermanfaat bagimu". "Jika kamu sakit, janganlah berobat! Sebab jika Allah menakdirkan kesembuhan untukmu, maka kamu pasti sembuh dan jika tidak, maka obat itu tidak bermanfaat bagimu". Apakah ia menyetujui kita atas pernyataan ini ataukah tidak? Jika ia menyepakati kita, maka kita mengetahui kerusakan akalnya dan jika menyelisihi kita, maka kita mengetahui kerusakan ucapannya dan kebathilan argumennya.
12.  Orang yang berdalih dengan qadar atas kemaksiatan telah menyerupakan dirinya dengan orang-orang gila dan anak-anak, karena mereka bukan mukallaf (yang berlaku padanya hukum syar'i) dan juga tidak mendapatkan sanksi. Seandainya ia diperlakukan seperti mereka dalam urusan dunia, niscaya dia tidak akan ridha.
13.  Seandainya kita menerima argumen yang bathil ini, niscaya tidak diperlukan lagi istighfar, taubat, do'a, jihad, serta amar ma'ruf dan nahi mungkar.
14.  Seandainya qadar adalah sebagai argumen atas perbuatan aib dan dosa, niscaya berbagai kemaslahatan manusia terhenti, anarkisme terjadi di mana-mana, tidak diperlukan lagi hudud (batasan-batasan hukum atau hukuman) dan ta'zir (peringatan sebagai hukuman) serta balasan, karena orang yang berbuat keburukan akan beralasan dengan qadar. Kita tidak perlu memberi hukuman kepada orang-orang yang zhalim juga para perampok dan penyamun, tidak perlu pula membuka badan-badan peradilan dan mengangkat para qadhi (hakim), dengan alasan bahwa segala yang terjadi adalah karena takdir Allah. Dan perkataan ini tidak pernah dinyatakan oleh orang yang berakal.
15.  Orang yang berdalih dengan qadar ini yang mengatakan, "Kami tidak akan dihukum, karena Allah telah menentukan hal itu atas kami. Sebab, bagaimana kami akan dihukum terhadap apa yang telah ditentukan atas kami?" Kita berikan jawaban untuknya: Kita tidak dihukum berdasarkan catatan terdahulu, tetapi kita hanyalah dihukum karena apa yang telah kita perbuat dan kita usahakan. Kita tidak diperintahkan kepada apa yang Allah telah takdirkan atas kita, tetapi kita hanyalah diperintahkan untuk melaksanakan apa yang Dia perintahkan kepada kita. Ada perbedaan antara apa yang dikehendaki terhadap kita dan apa yang dikehendaki dari kita. Apa yang Allah kehendaki terhadap kita, maka Dia merahasiakannya dari kita, adapun apa yang Allah kehendaki dari kita, maka Dia memerintahkan kita supaya melaksanakannya.
Di antara yang layak untuk dikatakan bagi mereka adalah : Bahwa argumen kebanyakan dari mereka bukanlah muncul dari qana'ah dan keimanan, tetapi hanyalah muncul dari hawa nafsu dan penentangan. Karena itu, sebagian ulama mengatakan mengenai orang yang demikian keadaannya, "Ketika taat, engkau (orang yang berpendapat demikian tadi) menjadi qadari (pengikut paham Qadariyyah) dan ketika bermaksiat, maka engkau menjadi jabari (pengikut paham Jabariyyah). Mazhab apa pun yang selaras dengan hawa nafsumu, maka engkau bermazhab dengannya".
Maksudnya, ketika ia melakukan ketaatan, maka ia menisbatkan hal itu kepada dirinya, dan mengingkari bahwa Allah menakdirkan hal itu kepadanya. Sebaliknya, jika ia melakukan kemaksiatan, maka ia berdalih dengan takdir.

Ringkasnya:
Berargumen dengan qadar atas perbuatan maksiat atau meninggalkan ketaatan adalah argumen yang bathil menurut syari'at, akal, dan kenyataan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata tentang orang-orang yang berdalih dengan qadar, "Kaum tersebut, jika tetap meneruskan keyakinan ini, maka mereka itu lebih kafir dari orang Yahudi dan Nashrani".

[Disalin dari kitab Al-Iimaan bil Qadhaa wal Qadar, Edisi Indoensia Kupas Tuntas Masalah Takdir, Penulis Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd, Penerjemah Ahmad Syaikhu, Sag. Penerbit Pustaka Ibntu Katsir]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar